Ramadhan merupakan bulan berkat dan umat muslim berkewajiban untuk berpuasa.Tidak hanya menahan lapar dan haus saja, kita juga harus menahan amarah dan hawa nafsu dunia lainnya. Hal ini bila dilakukan dapat membatalkan puasa dan berakibat dosa.
Salah satu yang membatalkan puasa ialah berjima atau melaksanakan kekerabatan suami istri pada siang hari. Meskipun berstatus sudah halal, namun memenuhi kebutuhan biologis di waktu ini tetap tidak diperbolehkan dan justru menimbulkan sanksi dan denda.
Namun faktanya banyak pasangan yang sudah menikah tetap melaksanakan kekerabatan suami istri pada siang hari dikala Ramadhan. Padahal, ada sanksi berat yang diterima dan harus dijalankan. Apa saja sanksinya? Berikut penjelasan selengkapnya.
Terkait dengan perkara ini, sebagian besar ulama sepakat bila suami isteri yang melaksanakan jima pada siang Ramadhan telah membatalkan puasanya dengan sengaja. Mereka tidak hanya berkewajiban untuk mengganti puasa tersebut pada hari lain, namun juga harus membayar denda atau disebut dengan kaffarat.
Denda tersebut ialah salah satu dari tiga hal yang sudah ditetapkan Nabi Muhammad SAW. Pertama, membebaskan budak. Kedua, puasa berturut-turut 2 bulan lamanya tanpa boleh terputus. Ketiga, memberi makan 60 fakir miskin. Sangat berat bukan? Denda ini berdasarkan hadist Nabi Muhammad SAW yang artinya:
Dari Abi Hurairah ra, bahwa seseorang mendatangi Rasulullah SAW dan berkata, ”Celaka saya ya Rasulullah”. “Apa yang membuatmu celaka?“ "Aku bekerjasama seksual dengan isteriku di bulan Ramadhan.” Nabi bertanya, ”Apakah kau punya uang untuk membebaskan budak?“ “Aku tidak punya.” “Apakah kau sanggup puasa 2 bulan berturut-turut?” ”Tidak.” “Apakah kau mampu memberi makan 60 orang fakir miskin?“ ”Tidak.” Kemudian duduk. Lalu dibawakan kepada Nabi sekeranjang kurma maka Nabi berkata, ”Ambilah kurma ini untuk kau sedekahkan.” Orang itu menjawab lagi, ”Adakah orang yang lebih miskin dariku? Tidak lagi orang yang lebih membutuhkan di barat atau timur kecuali aku.” Maka Nabi SAW tertawa hingga terlihat giginya lalu bersabda, ”Bawalah kurma ini dan beri makan keluargamu.” (HR Bukhari: 1936, Muslim: 1111, Abu Daud 2390, Tirmizy 724, An-Nasai 3115 dan Ibnu Majah 1671).
Hadist ini kemudian diuraikan oleh para ulama, pasalnya ada kekerabatan suami istri yang dilakukan pada siang hari namun tidak menimbulkan denda.
Suami isteri itu sedang dalam keadaan puasa. Bila sedang dalam keadaan tidak puasa, baik alasannya ialah udzur syar’i atau tanpa udzur syar’i, maka tidak ada denda kaffarat.
Suami isteri itu tidak dalam keadaan udzur berpuasa, atau sedang tidak wajib berpuasa. Misalnya tidak sedang sakit atau dalam perjalanan. Sebab orang yang sedang tidak wajib wajib puasa, tidak akan dikenakan denda kaffarat itu.
Hubungan suami isteri itu dilakukan dengan sengaja dan sepenuh kesadaran. Sedangkan bila lupa, hukumnya sama dengan orang yang lupa puasa, lalu makan dan minum. Maka hal itu tidak membatalkan puasanya dan juga tidak mewajibkan denda (kaffarat).
Hubungan suami isteri itu betul-betul hingga ke tingkat ghiyabul hasyafah fi farjil mar’ah. Maksudnya, kemaluan suami benar-benar melaksanakan penetrasi ke dalam kemaluan isterinya. Sedangkan bila tanpa penetrasi, meski pun hingga inzal (ejakulasi), hanya membatalkan puasa saja, tanpa ada kewajiban denda kaffarat.
Sebenarnya aturan larangan tidak berjimak pada siang hari ini sudah ringan dibanding aturan pada awal adanya hukum Islam. Sebelumnya, suami istri justru tidak diperbolehkan untuk melaksanakan kekerabatan biologis selama satu bulan penuh. Namun, Yang Mahakuasa SWT maha mengetahui kebutuhan hamba-Nya sehingga memperbolehkan bekerjasama suami istri pada waktu yang sudah ditentukan.
“Dihalalkan bagi kau pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka ialah pakaian bagimu, dan kamupun ialah pakaian bagi mereka. Yang Mahakuasa mengetahui sebetulnya kau tidak dapat menahan nafsumu, alasannya ialah itu Yang Mahakuasa mengampuni kau dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Yang Mahakuasa untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu hingga (datang) malam.” (QS. Al-Baqarah: 187).
Salah satu yang membatalkan puasa ialah berjima atau melaksanakan kekerabatan suami istri pada siang hari. Meskipun berstatus sudah halal, namun memenuhi kebutuhan biologis di waktu ini tetap tidak diperbolehkan dan justru menimbulkan sanksi dan denda.
Namun faktanya banyak pasangan yang sudah menikah tetap melaksanakan kekerabatan suami istri pada siang hari dikala Ramadhan. Padahal, ada sanksi berat yang diterima dan harus dijalankan. Apa saja sanksinya? Berikut penjelasan selengkapnya.
Terkait dengan perkara ini, sebagian besar ulama sepakat bila suami isteri yang melaksanakan jima pada siang Ramadhan telah membatalkan puasanya dengan sengaja. Mereka tidak hanya berkewajiban untuk mengganti puasa tersebut pada hari lain, namun juga harus membayar denda atau disebut dengan kaffarat.
Denda tersebut ialah salah satu dari tiga hal yang sudah ditetapkan Nabi Muhammad SAW. Pertama, membebaskan budak. Kedua, puasa berturut-turut 2 bulan lamanya tanpa boleh terputus. Ketiga, memberi makan 60 fakir miskin. Sangat berat bukan? Denda ini berdasarkan hadist Nabi Muhammad SAW yang artinya:
Dari Abi Hurairah ra, bahwa seseorang mendatangi Rasulullah SAW dan berkata, ”Celaka saya ya Rasulullah”. “Apa yang membuatmu celaka?“ "Aku bekerjasama seksual dengan isteriku di bulan Ramadhan.” Nabi bertanya, ”Apakah kau punya uang untuk membebaskan budak?“ “Aku tidak punya.” “Apakah kau sanggup puasa 2 bulan berturut-turut?” ”Tidak.” “Apakah kau mampu memberi makan 60 orang fakir miskin?“ ”Tidak.” Kemudian duduk. Lalu dibawakan kepada Nabi sekeranjang kurma maka Nabi berkata, ”Ambilah kurma ini untuk kau sedekahkan.” Orang itu menjawab lagi, ”Adakah orang yang lebih miskin dariku? Tidak lagi orang yang lebih membutuhkan di barat atau timur kecuali aku.” Maka Nabi SAW tertawa hingga terlihat giginya lalu bersabda, ”Bawalah kurma ini dan beri makan keluargamu.” (HR Bukhari: 1936, Muslim: 1111, Abu Daud 2390, Tirmizy 724, An-Nasai 3115 dan Ibnu Majah 1671).
Hadist ini kemudian diuraikan oleh para ulama, pasalnya ada kekerabatan suami istri yang dilakukan pada siang hari namun tidak menimbulkan denda.
Suami isteri itu sedang dalam keadaan puasa. Bila sedang dalam keadaan tidak puasa, baik alasannya ialah udzur syar’i atau tanpa udzur syar’i, maka tidak ada denda kaffarat.
Suami isteri itu tidak dalam keadaan udzur berpuasa, atau sedang tidak wajib berpuasa. Misalnya tidak sedang sakit atau dalam perjalanan. Sebab orang yang sedang tidak wajib wajib puasa, tidak akan dikenakan denda kaffarat itu.
Hubungan suami isteri itu dilakukan dengan sengaja dan sepenuh kesadaran. Sedangkan bila lupa, hukumnya sama dengan orang yang lupa puasa, lalu makan dan minum. Maka hal itu tidak membatalkan puasanya dan juga tidak mewajibkan denda (kaffarat).
Hubungan suami isteri itu betul-betul hingga ke tingkat ghiyabul hasyafah fi farjil mar’ah. Maksudnya, kemaluan suami benar-benar melaksanakan penetrasi ke dalam kemaluan isterinya. Sedangkan bila tanpa penetrasi, meski pun hingga inzal (ejakulasi), hanya membatalkan puasa saja, tanpa ada kewajiban denda kaffarat.
Sebenarnya aturan larangan tidak berjimak pada siang hari ini sudah ringan dibanding aturan pada awal adanya hukum Islam. Sebelumnya, suami istri justru tidak diperbolehkan untuk melaksanakan kekerabatan biologis selama satu bulan penuh. Namun, Yang Mahakuasa SWT maha mengetahui kebutuhan hamba-Nya sehingga memperbolehkan bekerjasama suami istri pada waktu yang sudah ditentukan.
“Dihalalkan bagi kau pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka ialah pakaian bagimu, dan kamupun ialah pakaian bagi mereka. Yang Mahakuasa mengetahui sebetulnya kau tidak dapat menahan nafsumu, alasannya ialah itu Yang Mahakuasa mengampuni kau dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Yang Mahakuasa untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu hingga (datang) malam.” (QS. Al-Baqarah: 187).