Jumat, 01 Desember 2017

Nasib Kantor Telepon Pertama Indonesia yang Kini Makara Kandang Kerbau


Sebuah bangunan bersejarah peninggalan zaman kolonialisme Belanda yang berada di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat terbengkalai dan tak terurus.

Padahal, gedung tersebut yaitu bekas kantor radio komunikasi yang kali pertama dibangun oleh Belanda di Indonesia berjulukan Telepoonken.

Meski dinding gedung tersebut masih berdiri kokoh dengan material campuran kerikil andesit dan kapur berdesain ala Belanda, namun sebab tidak terurus. Gedung tersebut terlihat sangat kusam. Bahkan, kondisi lebih parah tersaji di dalam.

Kemegahan di dalam bangunan yang menurut dongeng penuh dengan peralatan komunikasi tercanggih pada zamannya, kini berganti dengan pemandangan tak sedap. Puing-puing pilar yang mulai rusak tergerus waktu berceceran di lantai.

Selain itu, rongga ruangan yang sangat luas dipenuhi dengan jerami serta beberapa sangkar ayam yang tak terpakai.

“Kadang-kadang dijadikan sangkar kerbau. Tempat istirahat kerbau-kerbau jika mau ke ladang, dikasih makan di sana,” kata peneliti dan pelaku sejarah Cililin, Drs H. Amar Sudarman, ketika ditemui di kediamannya di Cililin, Senin (6/1/2013) kemarin.

Amar menambahkan, banyak juga warga sekitar yang membangun rumah-rumah di sekeliling gedung dengan memanfaatkan kayu-kayu jati yang setia menyangga eks kantor radio itu. Hal tersebut belakangan diketahui sebagai penyebab rusaknya pilar-pilar beton di dalam bangunan.

“Dulu juga pernah dipakai warga untuk membuat tahu, waktu itu beras masih mahal. Makanya hingga ketika ini orang kenalnya gedung tahu,” kata Amar.

Markas BKR dan TKR
Pada zaman perang kemerdekaan, gedung yang terlantar pascakebangkrutan radio komunikasi seluruh tanah jajahan Belanda, yaitu Radio Nederland Indishe Radio Ommelanden (NIROM) itu sempat dimanfaatkan oleh tentara perjuangan kemerdekaan menyerupai BKR dan TKR sebagai markas pertahanan.

Hingga karenanya bangunan tersebut ditetapkan sebagai markas Batalyon 22 Jaya Pangrengot/Guntur 1 Resimen. Gedung tersebut semakin rusak ketika Jepang datang.

Menurut Amar, Jepang pada ketika itu tidak menyukai bangunan-bangunan sisa peninggalan Belanda. Mereka lebih memilih untuk memanfaatkan daerah tersebut sebagai gudang penyimpanan senjata yang bertolak jauh dari desain semula, yaitu sentra komunikasi.

“Bangunan yang kecil memang pernah dipakai oleh rakyat untuk mengeksekusi anggota DI TII, sekitar tahun 1951 hingga 1958. Mereka diculik dan ditampung di sana dulu,” ujarnya.

Warga sekitar pun seolah mengabaikan kondisi rusak tersebut. Padahal, sebagai salah satu bukti sejarah yang masih berdiri kokoh, bangunan tersebut mampu menjadi materi edukasi untuk murid-murid SMA Negeri 1 Cililin.

Sementara itu, selain bangunan utama pemancar gelombang radio, sempurna di sebelahnya terdapat bangunan yang lebih kecil yang dahulu berfungsi sebagai pembangkit tenaga listrik. Bangunan yang memiliki delapan pintu itu lebih parah kondisinya.

Meski dinding batunya masih kokoh berdiri, namun sudah tidak beratap lagi. Delapan pintu yang tersebar di banyak sekali penjuru pun sengaja ditutup oleh warga menggunakan seng bekas dan kayu-kayu tak terpakai, seolah menyampaikan jika bangunan yang dalamnya sudah menjadi sangkar ayam dan kebun sudah menjadi milik perorangan.

“Kalau warga bersama-sama berharap gedung ini sedikit direnovasi dan dijadikan gedung serbaguna sebab bersama-sama masih layak,” harapnya.

Namun sepertinya keinginan Amar melihat gedung itu kembali kokoh berdiri akan sulit terwujud. Pasalnya, meski ketika ini tanah di daerah tersebut masuk dalam kepengelolaan Perhutani, namun untuk tanggungjawab pemeliharaan dan juga perbaikan gedung tersebut tidak jelas.

Ia pun berharap pemerintah provinsi Jawa Barat mau mengambil tanggung Jawab tersebut ke depannya.
Disqus Comments