Jumat, 01 Desember 2017

Beberapa Hal Tentang Orang Jepang yang Patut Kita Tiru



Jepang terkenal dengan kemajuan dan ilmu teknologinya yang maju. Namun di balik semua itu, Jepang mempunyai tradisi turun temurun yang sekiranya pantas untuk ditiru (wajib ditiru). Di sini ada beberapa tradisi warga Jepang yang diwariskan kepada anak cucu mereka yang membuat mereka hebat dalam segala hal.

1. Kerja Keras
Sudah menjadi belakang layar umum bahwa bangsa Jepang yakni pekerja keras. Rata-rata jam kerja pegawai di Jepang yakni 2450 jam/tahun, sangat tinggi dibandingkan dengan Amerika (1957 jam/tahun), Inggris (1911 jam/tahun), Jerman (1870 jam/tahun), dan Perancis (1680 jam/tahun). Seorang pegawai di Jepang bisa menghasilkan sebuah kendaraan beroda empat dalam 9 hari, sedangkan pegawai di negara lain memerlukan 47 hari untuk membuat kendaraan beroda empat yang bernilai sama. Seorang pekerja Jepang boleh dikatakan bisa melaksanakan pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh 5-6 orang. Pulang cepat yakni sesuatu yang boleh dikatakan “agak memalukan” di Jepang, dan menerangkan bahwa pegawai tersebut termasuk “yang tidak dibutuhkan” oleh perusahaan.

2. Budaya Malu
Malu yakni budaya leluhur dan turun temurun bangsa Jepang. Harakiri (bunuh diri dengan menusukkan pisau ke perut) menjadi ritual semenjak abad samurai, yaitu ketika mereka kalah dan pertempuran. Masuk ke dunia modern, wacananya sedikit berubah ke fenomena “mengundurkan diri” bagi para pejabat (mentri, politikus, dsb) yang terlibat dilema korupsi atau merasa gagal menjalankan tugasnya. Efek negatifnya mungkin yakni belum dewasa SD, SMP yang kadang bunuh diri, alasannya yakni nilainya jelek atau tidak naik kelas. Karena malu jugalah, orang Jepang lebih senang memilih jalan memutar daripada mengganggu pengemudi di belakangnya dengan memotong jalur di tengah jalan. Mereka malu terhadap lingkungannya apabila mereka melanggar peraturan ataupun norma yang sudah menjadi komitmen umum.

3. Hidup Hemat
Orang Jepang memiliki semangat hidup hemat dalam keseharian. Sikap anti konsumerisme berlebihan ini nampak dalam aneka macam bidang kehidupan. Di masa awal mulai kehidupan di Jepang, saya sempat terheran-heran dengan banyaknya orang Jepang ramai belanja di supermarket pada sekitar jam 19:30. Selidik punya selidik, ternyata sudah menjadi hal yang biasa bahwa supermarket di Jepang akan memotong harga hingga separuhnya pada waktu sekitar setengah jam sebelum tutup. Seperti diketahui bahwa Supermarket di Jepang rata-rata tutup pada pukul 20:00.

4. Loyalitas
Loyalitas membuat sistem karir di sebuah perusahaan berjalan dan tertata dengan rapi. Sedikit berbeda dengan sistem di Amerika dan Eropa, sangat jarang orang Jepang yang berpindah-pindah pekerjaan. Mereka biasanya bertahan di satu atau dua perusahaan hingga pensiun. Ini mungkin implikasi dari Industri di Jepang yang kebanyakan hanya mau mendapatkan fresh graduate, yang kemudian mereka latih dan didik sendiri sesuai dengan bidang garapan (core business) perusahaan.

5. Inovasi
Jepang bukan bangsa penemu, tapi orang Jepang mempunyai kelebihan dalam meracik temuan orang dan kemudian memasarkannya dalam bentuk yang diminati oleh masyarakat. Menarik membaca dongeng Akio Morita yang membuatkan Sony Walkman yang melegenda itu. Cassete Tape tidak ditemukan oleh Sony, patennya dimiliki oleh perusahaan Phillip Electronics. Tapi yang berhasil membuatkan dan membundling model portable sebagai sebuah produk yang booming selama puluhan tahun yakni Akio Morita, founder dan CEO Sony pada masa itu. Sampai tahun 1995, tercatat lebih dari 300 model walkman lahir dan jumlah total produksi mencapai 150 juta produk. Teknik perakitan kendaraan roda empat juga bukan diciptakan orang Jepang, patennya dimiliki orang Amerika. Tapi ternyata Jepang dengan inovasinya bisa membuatkan industri perakitan kendaraan yang lebih cepat dan murah.

6. Pantang Menyerah
Sejarah membuktikan bahwa Jepang termasuk bangsa yang tahan banting dan pantang menyerah. Puluhan tahun dibawah kekaisaran Tokugawa yang menutup semua saluran ke luar negeri, Jepang sangat tertinggal dalam teknologi. Ketika restorasi Meiji (meiji ishin) datang, bangsa Jepang cepat menyesuaikan diri dan menjadi fast-learner. Kemiskinan sumber daya alam juga tidak membuat Jepang menyerah. Tidak hanya menjadi pengimpor minyak bumi, batubara, biji besi dan kayu, bahkan 85% sumber energi Jepang berasal dari negara lain termasuk Indonesia . Kabarnya kalau Indonesia menghentikan pasokan minyak bumi, maka 30% wilayah Jepang akan gelap gulita Rentetan bencana terjadi di tahun 1945, dimulai dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki , disusul dengan kalah perangnya Jepang, dan ditambahi dengan adanya gempa bumi besar di Tokyo.

Ternyata Jepang tidak habis. Dalam beberapa tahun berikutnya Jepang sudah berhasil membangun industri otomotif dan bahkan juga kereta cepat (shinkansen). Mungkin cukup menakjubkan bagaimana Matsushita Konosuke yang usahanya hancur dan hampir tersingkir dari bisnis peralatan elektronik di tahun 1945 masih bisa merangkak, mulai dari nol untuk membangun industri sehingga menjadi kerajaan bisnis di abad kekinian. Akio Morita juga awalnya menjadi tertawaan orang ketika menyampaikan produk Cassete Tapenya yang mungil ke aneka macam negara lain. Tapi kesannya melegenda dengan Sony Walkman-nya. Yang juga cukup unik bahwa ilmu dan teori dimana orang harus berguru dari kegagalan ini mulai diformulasikan di Jepang dengan nama shippaigaku (ilmu kegagalan). Kapan-kapan saya akan kupas lebih jauh wacana ini.

7. Budaya Baca
Jangan kaget kalau anda datang ke Jepang dan masuk ke densha (kereta listrik), sebagian besar penumpangnya baik belum dewasa maupun bakir balig cukup akal sedang membaca buku atau koran. Tidak peduli duduk atau berdiri, banyak yang memanfaatkan waktu di densha untuk membaca. Banyak penerbit yang mulai membuat man-ga (komik bergambar) untuk materi-materi kurikulum sekolah baik SD, SMP maupun SMA.

Pelajaran Sejarah, Biologi, Bahasa, dsb disajikan dengan menarik yang membuat minat baca masyarakat semakin tinggi. Saya pernah membahas dilema komik pendidikan di blog ini. Budaya baca orang Jepang juga didukung oleh kecepatan dalam proses penerjemahan buku-buku absurd (bahasa inggris, perancis, jerman, dsb). Konon kabarnya legenda penerjemahan buku-buku absurd sudah dimulai pada tahun 1684, seiring dibangunnya institute penerjemahan dan terus berkembang hingga jaman modern. Biasanya terjemahan buku bahasa Jepang sudah tersedia dalam beberapa ahad semenjak buku asingnya diterbitkan.

8. Kerjasama Kelompok
Budaya di Jepang tidak terlalu mengakomodasi kerja-kerja yang terlalu bersifat individualistik. Termasuk klaim hasil pekerjaan, biasanya ditujukan untuk tim atau kelompok tersebut. Fenomena ini tidak hanya di dunia kerja, kondisi kampus dengan lab penelitiannya juga ibarat itu, mengerjakan peran mata kuliah biasanya juga dalam bentuk kelompok. Kerja dalam kelompok mungkin salah satu kekuatan terbesar orang Jepang. Ada anekdot bahwa “1 orang professor Jepang akan kalah dengan satu orang professor Amerika, hanya 10 orang professor Amerika tidak akan bisa mengalahkan 10 orang professor Jepang yang berkelompok” . Musyawarah mufakat atau sering disebut dengan “rin-gi” yakni ritual dalam kelompok. Keputusan strategis harus dibicarakan dalam “rin-gi”.

9. Mandiri
Sejak usia dini belum dewasa dilatih untuk mandiri. Irsyad, anak saya yang paling gede sempat mencicipi masuk TK (Yochien) di Jepang. Dia harus membawa 3 tas besar berisi pakaian ganti, bento (bungkusan makan siang), sepatu ganti, buku-buku, handuk dan sebotol besar minuman yang menggantung di lehernya. Di Yochien setiap anak dilatih untuk membawa perlengkapan sendiri, dan bertanggung jawab terhadap barang miliknya sendiri. Lepas SMA dan masuk dingklik kuliah hampir sebagian besar tidak meminta biaya kepada orang tua. Teman-temen seangkatan saya dulu di Saitama University mengandalkan kerja part time untuk biaya sekolah dan kehidupan sehari-hari. Kalaupun kehabisan uang, mereka “meminjam” uang ke orang renta yang itu nanti mereka kembalikan di bulan berikutnya.

10. Jaga Tradisi & Menghormati Orang Tua
Perkembangan teknologi dan ekonomi, tidak membuat bangsa Jepang kehilangan tradisi dan budayanya. Budaya perempuan yang sudah menikah untuk tidak bekerja masih ada dan hidup hingga ketika ini.

Budaya minta maaf masih menjadi reflek orang Jepang. Kalau suatu hari anda naik sepeda di Jepang dan menabrak pejalan kaki , maka jangan kaget kalau yang kita tabrak malah yang minta maaf duluan.

Sampai ketika ini orang Jepang relatif menghindari berkata “tidak” untuk apabila mendapat tawaran dari orang lain. Makara kita harus hati-hati dalam pergaulan dengan orang Jepang alasannya yakni “hai” belum tentu “ya” bagi orang Jepang Pertanian merupakan tradisi leluhur dan aset penting di Jepang. Persaingan keras alasannya yakni masuknya beras Thailand dan Amerika yang murah, tidak menyurutkan langkah pemerintah Jepang untuk melindungi para petaninya. Kabarnya tanah yang dijadikan lahan pertanian mendapatkan pengurangan pajak yang signifikan, termasuk beberapa insentif lain untuk orang-orang yang masih bertahan di dunia pertanian. Pertanian Jepang merupakan salah satu yang tertinggi di dunia.
Disqus Comments